Sulawesi atau Celebes adalah sebuah pulau dalam wilayah Bendera Indonesia Indonesia yang terletak di antara Pulau Kalimantan di sebelah barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur. Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 di dunia. Di Indonesia hanya luas Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Pulau Papua sajalah yang lebih luas wilayahnya daripada Pulau Sulawesi.
Bentuknya yang unik menyerupai bunga mawar laba-laba atau huruf K besar yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur ke timur laut, timur, dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di bagian barat dan terpisah dari Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku oleh Laut Maluku. Sulawesi berbatasan dengan Borneo di sebelah barat, Filipina di utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku di sebelah timur.
Di daerah Sulawesi juga tumbuh kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa Tallo, Bone, Wajo dan Sopeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa Tallo.
Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.
Kesultanan Gowa (1300–1946) M
Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC.
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa.
Pada masa kekuasaan Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.
Kesultanan Luwu (Abad 10- Abad 14) M
Kesultanan Luwu adalah kerajaan Bugis tertua, pada 1889, Gubernur Hindia Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara abad ke-10 sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan Tompotikka adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo, sebuah karya orang Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Kesultanan Buton (1332–1960) M
Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton Provinsi Sulawesi tenggara. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor.
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan Muna (1371–1956) M
Kerajaan Muna merupakan salah satu kerajaan besar yang berada di wilayah Sulawesi Tenggara. Kerajaan ini terletak di Bagian Utara Pulau Muna dan beribukota di Kotano Wuna (kini Kecamatan Tongkuno), dengan Raja pertamanya La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula Alias Remang Rilangiq yang menikah dengan Watandriabeng adik sawerigading (Epic I lagaligo). Sebelum terbentuknya kerajaan Muna, di Muna telah terbentuk delapan kampung. Walaupun masih sangat sederhana, kedelapan kampung yang telah terbentuk mengikat diri dalam sebuah ‘Union’ dengan mengangkat Mieno Wamelai sebagai pemimpin tertinggi.
Kerajaan Tallo (Pertengahan Abad 15 - 1760) M
Kerajaan Tallo adalah salah satu kerajaan suku Makassar yang terdapat di Sulawesi Selatan. Kerajaan ini berhubungan erat dengan Kerajaan Gowa, yang secara bersama-sama setelah Islamisasi persekutuan kerajaan Gowa-Tallo oleh para sejarawan disebut dengan nama Kesultanan Makassar. Kerajaan Tallo berawal dari pertengahan abad ke-15, yaitu setelah wafatnya Raja Gowa ke-6 Tonatangkalopi. Penerusnya sebagai Raja Gowa ke-7 adalah anak tertuanya Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna, sementara adiknya Karaeng Loe ri Sero memerintah sebagian wilayah sebagai Raja Tallo pertama.
Kedua kerajaan Tallo dan Gowa kemudian terlibat pertempuran dan persaingan, hingga Tallo terkalahkan. Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10 Tonipalangga Ulaweng dan Raja Tallo ke-4 Daeng Padulu' dicapailah kesepakatan Rua karaeng se're ata (dua raja tapi satu rakyat), yang mana dengan persetujuan tersebut, maka dalam persekutuan itu Raja Gowa menjadi Sombaya (raja tertinggi) sedangkan Raja Tallo menjadi Tumabicara buta (perdana menterinya) dari persekutuan kedua kerajaan tersebut. Sejak saat itu Kerajaan Tallo selalu terlibat dan mendukung ekspansi Kerajaan Goa di Sulawesi Selatan dan sekitarnya.
Kesultanan Soppeng (1300-1957) M
Kedatuan Soppeng Pada mulanya, ada 60 komunitas yang dipimpin oleh matoa. Kedatangan To Manurung ri Sekkanyili yaitu La Temmamala dan We Tenripuppu Manurungnge ri GoariE kemudian membentuk kedatuan Soppeng Riaja dan kedatuan Soppeng riLau Kedua kerajaan kembar ini akhirnya menyatu.
Dengan kemunculan Tomanurung dari Sekkanyili’ (Soppeng Riaja) dan Manurunnge dari Goarié (Kerajaan Soppeng Rilau) merupakan fase awal dari ketenangan dan ketentraman masyarakat Soppeng. Pada Pemerintahan La Temmamala sebagai Datu I di Soppeng Riaja dan We Temmabubbu sebagai Datu I di Soppeng Rilau hingga terjadi konflik. Konflik ini disebabkan keambisian La Makkarodda untuk menguasai wilayah Soppeng Riaja. Pertikaian ini meningkat menjadi perang saudara.
Perselisihan diakhiri dengan perjanjian perdamaian antara La Makkarodda dengan Lamataesso maka Soppeng memasuki era baru, yakni ditandai dengan berakhirnya kerajaan kembar di Soppeng dan selanjutnya menjadi satu kesatuan tunggal (mabbulo peppa) di bawah satu panji kebesaran dan satu orang raja berdaulat sebagai pemegang tampuk pemerintahan yaitu, “Kerajaan Soppeng”.
Sebagai hasil keputusan Dewan Adat maka diangkatlah La Mataesso Puang Lipue Patolae sebagai Datu Soppeng Bersatu (1560) dan La Makkarodda Totenribali diangkat menjadi pangepa’ (Perdana Menteri) Kerajaan Soppeng. Setelah kerajaan Soppeng Rilau berintegrasi dengan Soppeng Riaja, maka pusat kerajaan dipusatkan di Laleng Benteng.
Kerajaan Wajo (1399–1957) M
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi. Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Kerajaan Banawa (1485-1959) M
Kerajaan Banawa didirikan oleh Sawerigading dengan puteranya bernama La Galigo. Dengan perahu layar yang ramping bernama Banawa, mereka mengarungi lautan sampai ke pesisir barat Sulawesi Tengah. Pantai tersebut dinamakan Langga Lopi dan daerah disekitarnya disebut Banawa. Di daerah ini La Galigo menikah dengan puteri Kaili dari Kerajaan Pudjananti bernama Daeng Malino Karaeng Tompo Ri Pudjananti sebagai isteri keempatnya. Kerajaan Banawa resmi berdiri di bawah kepemimpinan seorang ratu, yakni I Badan Tassa Batari Bana yang bertahta sejak tahun 1485 hingga 1552 M.
Sejak pemerintahan Raja Banawa VII La Makagili, Kerajaan Banawa yang berpusat di Pudjananti tepat pada Tanggal 23 Juli 1893 dipindahkan ke Donggala. Sejak itu, Donggala menjadi ibukota Kerajaan Banawa sampai pada akhir pemerintahan Raja Banawa XII Andi Parenrengi atau La Parenrengi. Sejalan dengan dihapusnya daerah-daerah Swapraja di seluruh Indonesia, sekarang Banawa hanyalah sebuah kecamatan dari ibukota Kabupaten Donggala.
Kerajaan Banggai (1600-1959) M
Kerajaan Banggai, awalnya hanya meliputi wilayah Banggai Kepulauan, namun kemudian oleh Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa disatukan dengan Wilayah Banggai Darat. Bukti bahwa kerajaan Banggai sudah di kenal sejak zaman Mojopahit dengan nama Benggawi setidaknya dapat di lihat dari apa yang telah di tulis seorang pujangga Mojopahit yang bernama Mpu Prapanca dalam bukunya “Negara Kartagama”.
Setelah Adi Cokro menyatukan keempat kerajaan itu bahkan memperluas wilayahnya sampai ke Banggai Daratan ia kemudian kembali ke Jawa sehingga terjadilah kekosongan kepemimpinan. Basalo Sangkap kemudian memilih Maulana Prins Mandapar, anak Adi Cokro yang lain, hasil perkawinannya dengan seorang puteri Portugis. Basalo Sangkap ini pula yang melantik Mandapar menjadi raja Banggai pertama dan berkuasa tahun 1600 - 1625.
Kerajaan Mori (1600-1959) M
Kerajaan Mori merupakan suatu kerajaan yang terdapat di wilayah Sulawesi Tengah dan diperintah pada suatu masa oleh seorang raja yang dikenal dengan sebutan 'Mokole Marunduh' (Datu'ri tana Mokole Marunduh) yang memimpin perlawanan terhadap Belanda. Menurut suatu naskah pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) kerajaan Mori termasuk dalam resort afdeling Poso dan Donggala yang membentuk Daerah Sulawesi Tengah.
Kerajaan Mori adalah salah satu kerajaan di Sulawesi Tengah yang berkembang pada sekitar abad ke-16 Masehi. Wilayah kerajaan ini sekarang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Kerajaan Mori sendiri adalah kerajaan gabungan dari kerajaan-kerajaan atau juga otonomi daerah yang memang memiliki pemimpinnya masing-masing namun dari dari keturunan yang sama. Adanya hal ini menjadi sebuah ikatan untuk mempererat tali persaudaraan yang pada akhirnya mendorong kemunculan dari kerajaan yang bersifat persemakmuran.
Kerajaan Bungku (1672-1950) M
Kerajaan Bungku adalah kerajaan Suku Bungku, terletak di Sulawesi, kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Kerajaan Bungku yang ditaklukkan oleh pasukan Ternate (belum diketahui kapan waktunya) yang oleh masyarakat Bungku lebih popular dengan nama Tobelo; pada tahun 1682 diambil alih Gubernur Padbrugge atas nama Kompeni Hindia Belanda. Sebelum diambil alih oleh pemerintah Belanda, Bungku telah memiliki pemerintahan sendiri.
Raja pertama Kerajaan Bungku adalah Marhum Sangiang Kinambuka. Ayahnya bernama Sangia Oheo dan ibunya bernama Fengguluri. Adapun istri dari Sangiang Kinambuka adalah Wendoria gelar Apu Boki, keturunan Mokole Lere di Routa.
Kerajaan Buol (1380-1947) M
Kerajaan Buol adalah kerajaan Suku Buol, terletak di Sulawesi, Kabupaten Buol, prov. Sulawesi Tengah. Sejarah Buol mulai dikenal secara teratur sejak jaman pemerintahan Ndubu I dengan permaisurinya bernama Sakilato (sekitar 1380 M) dan selanjutnya digantikan oleh Anogu Rlipu sebagai Madika yang kemudian memindahkan Pusat pemerintahan dari Guamonial ke Lamolan.
Setelah Anogu Rlipu meninggal dunia dan Dae Bole belum kembali maka Bokidu memutuskan Bataralangit menjadi Madika (Raja) dengan gelar Madika Moputi atau Sultan Eato dan diperkirakan Madika Moputi adalah Raja Buol yang pertama memeluk Agama Islam dengan nama Muhammad Tahir Wazairuladhim Abdurahman dan meninggal pada tahun 1594 M.
Kerajaan Palu (1796–1960) M
Kerajaan Palu yang terletak di dataran sungai Palu didirikan oleh seorang pangeran yang berasal dari Vonggi, Kampung Topotara pada perbukitan bagian timur Tanah Kaili yang bernama “Pue Nggari” sekitar abad 16. Pue Nggari bersama rakyatnya turun dan tinggal beberapa lama di “Pantosu”, dan setelah itu pindah lagi di Valangguni kemudian pindah lagi dilokasi penggaraman saat ini, kemudian pindah lagi ke “Pandapa” Atau sekarang ini dikenal dengan nama Kelurahan Besusu Barat.
Kerajaan Palu merupakan salah satu kerajaan merdeka yang berkuasa secara de facto di Lembah Palu (Teluk Palu sebelah barat Sungai Palu sekarang). Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh.
Kerajaan Tawaeli
Kerajaan Tawaeli adalah salah satu Kerajaan yang ada di Lembah Palu (Kota Palu Sekarang). Kerajaan Tawaeli pada masa jayanya merupakan Kerajaan yang memiliki wilayah cukup luas mulai dari Ogoamas (Kecamatan Sojol Utara, Donggala. sekarang) sampai Lasoani (Kecamatan Mantikulore, Palu. sekarang)
Kerajaan Toli-Toli (1737-1946) M
Kerajaan Tolitoli terletak di Sulawesi, Kab. Tolitoli, prov. Sulawesi Tengah. Sepanjang sejarah yang diketahui, Tolitoli mempunyai pemerintahan yang bersifat kerajaan. Puncak kejayaannya dicapai setelah masuknya agama islam, sekitar abad ke-17, yang dibawa mubalig dari kesultanan ternate.
Kemudian nama Totolu (Tau Tolu) berubah menjadi Tontoli sebagaimana yang tertulis dalam Lange-Contrack 5 juli 1858 yang ditandatangani antara Dirk Francois dari pihak belanda dengan Raja Bantilan Syafiuddin. Tahun 1918 berubah menjadi Tolitoli, seperti yang terlihat dalam penulisan Korte verklaring yang di tandatangi Raja Haji Mohammad Ali dengan pemerintah Hindia Belanda, yang ketika itu ibukota kerajaan berpusat di Nalu.
Kerajaan Alu (.......-1957)
Kerajaan Alu adalah kerajaan Suku Mandar di Sulawesi, terletak di kab. Polewali Mandar, prov. Sulawesi Barat. Kerajaan Alu adalah salah satu dari tiga kelompok kerajaan lokal (Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, Mammulana Tiparittiqna Uwai). Kerajaan Alu tergabung dalam Tiparittiqna Uwai.
Kerajaan Alu yang daerahnya berada di desa Alu yang meliputi Peto’osang dan sekitarnya, di daerah Alu salah satu Maraqdia yang paling dikenal adalah Arajang ALU Calo Ammana I Wewang Maraqdia Malolo Balanipa di era pemerintahan Arajang Balanipa To Kape. Calo Ammana I Wewang memerintah sekitar tahun 1887 sampai sekitar tahun 1920 dan setelahnya dia digantikan oleh Arajang Annangguru Maraqdia Alu yang terakhir keturunan dari Maraqdia Lombo' yang memerintah sampai sekitar tahun 1957 beliau adalah raja terakhir dari kerajaan ALU yang juga disebut sebagai Pattolawali.
Kerajaan Bolaang Mongondow (1670-1950) M
Di wilayah bekas kabupaten Bolaang Mongondow abad ke-XIX terdapat 5 kerajaan. Yang terbesar Kerajaan Bolaang Mongondow. Lalu kerajaan Bolaang Uki, pada tahun 1850-an masih disebut Kerajaan Bolaang (Bangka). Berikutnya Kerajaan Bintauna (Binta Oena), Kerajaan Bolaang Itang dan Kerajaan Kaidipang. Pada tahun 1912 bergabunglah kerajaan Bolaang-Itang dengan kerajaan Kaidipang menjadi Kerajaan Kaidipang Besar.
Kerajaan Bolaang Mongondow pada awalnya dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan dimana raja memerintah secara otonom tanpa dipengaruhi atau diperintah oleh pemerintah manapun. Pada tahun 1694-1950 ketika Belanda masuk ke wilayah Bolaang Mongondow, Kerajaan BM tidak ada pilihan lain kecuali sebagai alat legitimasi imperialisme (dalam bentuk kontrak politik) dengan pemerintah Hindia Belanda.
Kerajaan Bolangitang (1793-1912) M
Kerajaan BolaangItang (Bolangitang) adalah kerajaan Suku Mongondow. Kerajaan BolaangItang (bolangItang) termasuk dalam Wilayah kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Kerajaan Mokapog merupakan negeri induk yang dikemudian hari berkembang menjadi tiga kerajaan yang kita kenal sebagai Kerajaan Kaidipang, Kerajaan Bintauna dan kemudian Kerajaan Bolangitang.
Raja pertama Kerajaan Bolangitang adalah Salmon Muda Pontoh yang dilantik pada 21 November 1793. Pada tahun 1912 bergabunglah kerajaan Bolaang-Itang dengan kerajaan Kaidipang menjadi Kerajaan Kaidipang Besar. Adapun Kerajaan Kaidipang Besar (1912–1950), diperintah oleh Rajanya yang pertama dan terakhir yaitu Raja Ram Suit Pontoh(R.S.Pontoh).
Kerajaan Alu (.......-1957)
Kerajaan Alu adalah kerajaan Suku Mandar di Sulawesi, terletak di kab. Polewali Mandar, prov. Sulawesi Barat. Kerajaan Alu adalah salah satu dari tiga kelompok kerajaan lokal (Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, Mammulana Tiparittiqna Uwai). Kerajaan Alu tergabung dalam Tiparittiqna Uwai.
Kerajaan Alu yang daerahnya berada di desa Alu yang meliputi Peto’osang dan sekitarnya, di daerah Alu salah satu Maraqdia yang paling dikenal adalah Arajang ALU Calo Ammana I Wewang Maraqdia Malolo Balanipa di era pemerintahan Arajang Balanipa To Kape. Calo Ammana I Wewang memerintah sekitar tahun 1887 sampai sekitar tahun 1920 dan setelahnya dia digantikan oleh Arajang Annangguru Maraqdia Alu yang terakhir keturunan dari Maraqdia Lombo' yang memerintah sampai sekitar tahun 1957 beliau adalah raja terakhir dari kerajaan ALU yang juga disebut sebagai Pattolawali.
Kerajaan Bolaang Mongondow (1670-1950) M
Di wilayah bekas kabupaten Bolaang Mongondow abad ke-XIX terdapat 5 kerajaan. Yang terbesar Kerajaan Bolaang Mongondow. Lalu kerajaan Bolaang Uki, pada tahun 1850-an masih disebut Kerajaan Bolaang (Bangka). Berikutnya Kerajaan Bintauna (Binta Oena), Kerajaan Bolaang Itang dan Kerajaan Kaidipang. Pada tahun 1912 bergabunglah kerajaan Bolaang-Itang dengan kerajaan Kaidipang menjadi Kerajaan Kaidipang Besar.
Kerajaan Bolaang Mongondow pada awalnya dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan dimana raja memerintah secara otonom tanpa dipengaruhi atau diperintah oleh pemerintah manapun. Pada tahun 1694-1950 ketika Belanda masuk ke wilayah Bolaang Mongondow, Kerajaan BM tidak ada pilihan lain kecuali sebagai alat legitimasi imperialisme (dalam bentuk kontrak politik) dengan pemerintah Hindia Belanda.
Kerajaan Bolangitang (1793-1912) M
Kerajaan BolaangItang (Bolangitang) adalah kerajaan Suku Mongondow. Kerajaan BolaangItang (bolangItang) termasuk dalam Wilayah kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Kerajaan Mokapog merupakan negeri induk yang dikemudian hari berkembang menjadi tiga kerajaan yang kita kenal sebagai Kerajaan Kaidipang, Kerajaan Bintauna dan kemudian Kerajaan Bolangitang.
Raja pertama Kerajaan Bolangitang adalah Salmon Muda Pontoh yang dilantik pada 21 November 1793. Pada tahun 1912 bergabunglah kerajaan Bolaang-Itang dengan kerajaan Kaidipang menjadi Kerajaan Kaidipang Besar. Adapun Kerajaan Kaidipang Besar (1912–1950), diperintah oleh Rajanya yang pertama dan terakhir yaitu Raja Ram Suit Pontoh(R.S.Pontoh).